Cara Termudah Mengatasi Sampah Barang Bekas
www.acacicu.com
Saya mempunyai seorang teman yang bekerja sebagai
pemulung sampah. Namanya Mas Ripin. Saya mengenalnya ketika dulu saya
masih kuliah dan aktif di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (pencinta
alam). Kebetulan, pemulung yang biasa melintas di sekitar kampus adalah
Mas Ripin. Dari sanalah awal perkenalan saya dengan Mas Ripin.
Ketika saya bertanya pada Mas Ripin, kenapa memilih jalan hidup sebagai
seorang pemulung? Dia bilang, karena hanya ini yang dia mampu. Pernah
bekerja di bidang dagang tapi tidak berhasil. Kerja ikut orang juga
kurang sreg. Ketika Mas Ripin mencoba mengais sampah, ternyata di sinilah dia menemukan kecocokan.
“Lagipula saya ini SD saja nggak lulus Mas. Mau kerja apa lagi? Anak sudah dua”. Itu yang Mas Ripin katakan pada saya, dengan bahasa Madura.
Ngobrol dengan Mas Ripin itu menyenangkan. Dia selalu menghargai barang
(apapun) dengan standart kilogram, bukan dilihat dari sisi fungsinya.
Ketika ada sepeda motor CB yang mangkrak, dia segera menafsir.
Memperkirakan bobot sepeda untuk kemudian membuka harga dengan tawaran
perkilo. Begitulah Mas Ripin, dengan segala kesederhanaannya.
Pernah terjadi, suatu hari kampus sedang sepi-sepinya. Saya lupa kenapa
saat itu kampus sedang sepi, mungkin musim libur panjang. Nah, di
sekretariat pencinta alam (tempat saya dan kawan-kawan berproses) hanya
ada saya dan seorang kawan bernama Eka. Kami sama-sama lapar dan tidak
punya uang. Di sekretariat hanya ada beras setengah kilo sisa
kawan-kawan naik gunung. Akhirnya beras tersebut saya masak, lauknya
mengambil satu ekor ikan mas di kolam kecil. Alhamdulillah, akhirnya
saya dan Eka kenyang.
Satu masalah teratasi, datang masalah berikutnya. Kita kedatangan tamu
dari luar kota, sekitar empat atau lima orang. Mereka hendak melakukan
pendakian ke Gunung Raung dan singgah dulu di sini. Mereka bukan
masalah, saya dan Eka justru senang ada saudara pencinta alam luar kota
yang datang berkunjung. Masalahnya adalah saya dan Eka sedang tidak
punya uang. Bagaimana kami harus menjamu mereka?
Saat sedang pusing memikirkan solusi itulah, tiba-tiba bayangan akan Mas Ripin berkelebat di kepala. Yes, sekarang saya tahu harus bagaimana.
Mula-mula saya dan Eka mengumpulkan botol yang ada di belakang
sekretariat, lalu mengumpulkan kertas dan memilah milahnya. Saya
memilahnya seperti saran Mas Ripin. Mana yang masuk kertas putih, mana
yang kardus, dan mana yang duplex.
Beberapa saat kemudian, saya dan Eka pergi ke pengepul barang bekas
terdekat (jaraknya dari kampus sekitar 3 kilometer). Endingnya bisa
ditebak. Kami pulang dengan membawa serta bubuk kopi, gula, beras, dan
lain-lain. Syukurlah, berkat sampah saya bisa menjamu tamu dengan baik.
Menjual barang bekas pada pengepul adalah benteng terakhir untuk
mengantisipasi pengolahan sampah. Dilihat dari sisi ekonomi
menguntungkan, dari sisi ramah lingkungan juga oke. Kadang-kadang juga
bisa untuk survive, hehe..
0 komentar:
Posting Komentar