Pages

About Me

Jumat, 11 Januari 2013

Cara Termudah Mengatasi Sampah Barang Bekas

Cara Termudah Mengatasi Sampah Barang Bekas

www.acacicu.com 

 

Saya mempunyai seorang teman yang bekerja sebagai pemulung sampah. Namanya Mas Ripin. Saya mengenalnya ketika dulu saya masih kuliah dan aktif di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (pencinta alam). Kebetulan, pemulung yang biasa melintas di sekitar kampus adalah Mas Ripin. Dari sanalah awal perkenalan saya dengan Mas Ripin.

Ketika saya bertanya pada Mas Ripin, kenapa memilih jalan hidup sebagai seorang pemulung? Dia bilang, karena hanya ini yang dia mampu. Pernah bekerja di bidang dagang tapi tidak berhasil. Kerja ikut orang juga kurang sreg. Ketika Mas Ripin mencoba mengais sampah, ternyata di sinilah dia menemukan kecocokan.

“Lagipula saya ini SD saja nggak lulus Mas. Mau kerja apa lagi? Anak sudah dua”. Itu yang Mas Ripin katakan pada saya, dengan bahasa Madura.

Ngobrol dengan Mas Ripin itu menyenangkan. Dia selalu menghargai barang (apapun) dengan standart kilogram, bukan dilihat dari sisi fungsinya. Ketika ada sepeda motor CB yang mangkrak, dia segera menafsir. Memperkirakan bobot sepeda untuk kemudian membuka harga dengan tawaran perkilo. Begitulah Mas Ripin, dengan segala kesederhanaannya.

Pernah terjadi, suatu hari kampus sedang sepi-sepinya. Saya lupa kenapa saat itu kampus sedang sepi, mungkin musim libur panjang. Nah, di sekretariat pencinta alam (tempat saya dan kawan-kawan berproses) hanya ada saya dan seorang kawan bernama Eka. Kami sama-sama lapar dan tidak punya uang. Di sekretariat hanya ada beras setengah kilo sisa kawan-kawan naik gunung. Akhirnya beras tersebut saya masak, lauknya mengambil satu ekor ikan mas di kolam kecil. Alhamdulillah, akhirnya saya dan Eka kenyang.

Satu masalah teratasi, datang masalah berikutnya. Kita kedatangan tamu dari luar kota, sekitar empat atau lima orang. Mereka hendak melakukan pendakian ke Gunung Raung dan singgah dulu di sini. Mereka bukan masalah, saya dan Eka justru senang ada saudara pencinta alam luar kota yang datang berkunjung. Masalahnya adalah saya dan Eka sedang tidak punya uang. Bagaimana kami harus menjamu mereka?

Saat sedang pusing memikirkan solusi itulah, tiba-tiba bayangan akan Mas Ripin berkelebat di kepala. Yes, sekarang saya tahu harus bagaimana.

Mula-mula saya dan Eka mengumpulkan botol yang ada di belakang sekretariat, lalu mengumpulkan kertas dan memilah milahnya. Saya memilahnya seperti saran Mas Ripin. Mana yang masuk kertas putih, mana yang kardus, dan mana yang duplex.

Beberapa saat kemudian, saya dan Eka pergi ke pengepul barang bekas terdekat (jaraknya dari kampus sekitar  3 kilometer). Endingnya bisa ditebak. Kami pulang dengan membawa serta bubuk kopi, gula, beras, dan lain-lain. Syukurlah, berkat sampah saya bisa menjamu tamu dengan baik.

Menjual barang bekas pada pengepul adalah benteng terakhir untuk mengantisipasi pengolahan sampah. Dilihat dari sisi ekonomi menguntungkan, dari sisi ramah lingkungan juga oke. Kadang-kadang juga bisa untuk survive, hehe..

0 komentar:

Posting Komentar